Pendekatan logika sebuah kebenaran

Menilik arah pemikiran bebas (liberal-sosialis) cukup menarik. Saya dapat mengatakan bahwa kaum liberal (bebas) ini terbagi dua, yang pertama adalah kaum yang mencari kebenaran dan kebahagiaan dimulai dari nol ( 0 ) dengan memulainya menggunakan logika paling sederhana, mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim Alaihisalam saat masih kecil. Dan kaum ke dua adalah kaum yang sengaja mengobrak-abrik agama dengan pemikiran liberal, seperti yang dilakukan JIL dan agen-agen Yahudi lainnya.

Kaum yang pertama tentu lebih memiliki “harapan” daripada kaum ke dua yang hatinya relatif sudah mati. Namun sayangnya kebanyakan kaum pertama ini tidak seperti Nabi Ibrahim Alaihisalam, kajian mereka tidak tuntas. Mereka hanya sampai kepada kesimpulan bahwa kebahagiaan itu adalah materi (uang, wanita, kekuasaan) dan kebahagiaan itu adalah ketika kita bisa melakukan apapun sekehendak hati (bebas, liberal). Mereka tidak sampai mengkaji betapa bahagianya ketika berbuat baik kepada orang lain, betapa bahagianya saat bersedekah, betapa bahagianya saat membanggakan kedua orang tua dan sampai betapa bahagianya menghadiri majelis ilmu, betapa bahagianya dapat mengaji setiap hari, betapa bahagianya dapat diizinkan sholat 5 waktu ke mesjid, betapa bahagianya mendapat amanah untuk berdakwah, betapa bahagianya dan indahnya dekapan ukhuwah dan banyak lagi kebahagiaan yang tidak dapat diukur dengan materi, bahkan tak dapat terbeli oleh harta seisi dunia (QS Al Anfaal: 63). Ini belum lagi jika kita merasakan nikmat mensyukuri seluruh nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya, meski seluruh lautan dijadikan tinta dan pohon-pohon dijadikan pensilnya.

Begitu banyak konsep-konsep kebahagiaan dan kebaikan yang tak terjangkau oleh logika liberal, Konsep-konsep kebahagiaan yang lebih kompleks justru mampu dicapai oleh kaum agamawan terutama agama islam sebagai agama paling logis. Banyak hal di dunia ini yang tak terjangkau oleh logika, kuncinya adalah perpaduan dengan iman. Konsep iman dalam islam tidak mengekang kebebasan berfikir (dogmatis) namun ia mengakomodasi hal-hal yang tak terjangkau akal.

Maka akan terasalah kebahagiaan kompleks itu ketika kita telah beriman dan kemudian mengikuti seluruh petunjuk (perintah dan larangan tuhan) bukankah seluruh kenikmatan ini berasal dari Tuhan dan berasal dari perintah-perintahnya? Bahkan mencari harta dan wanitapun adalah perintah Tuhan, namun ini ada koridornya dan digunakan untuk kebahagiaan abadi (akhirat) juga. Jelaslah pencarian kebenaran dan kebahagiaan yang tuntas akan berujung pada pencarian Tuhan. Menjadikan nikmat berdekatan pada-Nya dalam setiap sujud sebagai nikmat terbesar, dan yang paling besar lagi adalah melihat wajah-Nya di akhirat nanti.

Jika pendekatan tentang kebenaran dan kebahagiaan telah selesai lalu bagaimana tentang keberadaan Tuhan? Seperti yang kita ketahui, yang tidak kelihatan belum tentu tidak ada. Otak manusia tidak kelihatan, tapi dia ada, hanya tersembunyi oleh kepala yang membungkusnya. Begitu juga makhluk gaib, ia tidak kelihatan, tapi dia ada, hanya tersembunyi oleh perbedaan alam. Allah ada, tapi tidak kelihatan karena Dia ingin menguji keimanan hamba-hamba-Nya. Siapa yang taat dan siapa yang tidak. Jika Allah menampakkan diri, tentu seluruh manusia akan taat karena merasa takut, tidak teruji sama sekali.

Dialah Allah yang menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di barat, dialah yang mengatur kesemimbangan perputaran bumi dan baik rotasi maupun revolusi. Dia lah yang mengatur keseimbangan oksigen di muka bumi agar selalu berapa pada kadar yang sama, yang mana kadar oksigen berlebih sedikit saja dapat berbuah kebakaran di mana-mana dan berkurang sedikit saja dapat menimbulkan kematian dimana-mana. Dialah yang mematikan dan menghidupkan, Ibrahim Alaihisalam yang dibakar hidup-hiduppun tidak dapat mati karena belum diizinkan Allah kematiannya.

Lalu jika keberadaannya telah selesai, lalu bagaimana dengan jumlah dan wujud tuhan? Masyarakat primitif animisme-dinamisme dan agama-agama duniawiah yang tidak mengenal akhirat menetapkan tuhan sesuai apa yang ia lihat hebat. Matahari terlihat hebat kemudian ia jadikan tuhan, Namun saat malam ia tenggelam jua. Pohon besarpun dijadikan tuhan, sebagian lain menetapkan dewa atas suatu hal yang dianggap hebat, Dewa Gunung, dewa petir dll. Orang hebat dijadikan pula sebagai tuhan, Sidharta, Shinto, raja2 besar zaman dahulu dan bahkan Nabipun dijadikan Tuhan. Kaum Liberal-komunis-dll menganggap dirinya tak bertuhan, padahal mereka menuhankan harta dan kebebasan yang dianggapnya hebat. Padahal, bukankan segala yang mereka sembah ini adalah makhluk dan benda? Ia akan hilang jua di telan masa, ia bergantung pada makhluk yang lainnya. Mereka hanya menyembah apa yang dilihat mata, padahal mata itu sendiri sangat terbatas, mudah dibohongi pesulap, mata bahkan tak dapat melihat dirinya sendiri tanpa bantuan cermin.

Tuhan yang sebenarnya adalah yang AHAD. Bukan satu, bukan tunggal. Karena satu adalah ukuran yang ditetapkan manusia, bagaimana mungkin manusia menetapkan ukuran bagi penciptanya? Tapi Allah menetapkan ukuran untuk dirinya sendiri, AHAD. Firman Allah jelas dalam surat Al-Ikhlas:

“Katakanlah (Muhammad),’Dia-lah Allah, yang Ahad. Allah tempat meminta segala sesuatu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”

Tidak satupun yang setara dengan Allah, Allah kekal, kekal adalah ukuran waktu namun bukan ukuran manusia kerena manusia sendiri tidak mampu menghitungnya. Waktu sendiri adalah ciptaan Allah, Allah bebas merubah ukuran waktu yang sebenarnya tidak terasa oleh manusia. Terkadang waktu terasa singkat, kadang terasa lama. Padahal ukurannya tetapan dari manusia masih sama.

Allah adalah yang awal dan yang akhir, yang tidak terbatas. Sankin tidak terbatasnya ia tidak mampu difikirkan oleh akal manusia, hanya pendekatan imanlah yang membuat kita mampu merasakan keberadaan Allah. Ilmu itu tidak selamanya harus difikirkan tapi dapat juga dirasakan (Yohanes Surya, pakar pendidikan fisika)

Jelaslah Tuhan itu, lalu bagaimana pendekatan agama berdasarkan persatuan, “kedamaian” atau hal lainnya yang sebenarnya hanya alibi untuk kedamaian palsu? Ya, karena kedamaian atas dasar campur aduk agama hanya akan berbuah bencana kemurkaan tuhan.
Pada zaman dahulu kaum hindu-budha di Indonesia ada yang mencampuradukkan agamanya dengan alasan kedamaian, di India ada agama Sikh yang merupakan perpaduan islam dan Hindu, dan kini ada pula JIL yang mencampuradukkan semua agama. Padahal mencampuradukkan agama adalah upaya penghilangan prinsip inti dari suatu agama, yang berujung penghancuran agama. Padahal agama teridiri dari 2 kata A GAMA (A= tidak, GAMA= Rusuh) Agama = tidak rusuh (dalam bahasa sanskerta), para leluhur bangsa Indonesia selalu memiliki filosofi dalam membuat sebuah bahasa. Tidak ada agama atau rusaknya agama berarti kerusuhan. Upaya pengrusakan agama adalah upaya pengrusakan perdamaian yang sesungguhnya. Kita lihat munculnya Ahmadiyah,syiah dan aliran sesat lainnya adalah biang kerusakan. Sementara agama lain yang tidak mengganggu ideologi agama lainnya tidak pernah berbuah kerusuhan. Sementara kerusuhan antar agama di luar negeri lebih bersifat sentimen. Muslim di negara barat sering diintimidasi bahkan dipukuli terutama wanita yang menggunakan cadar, di India, Myanmar, muslim selalu di serang.

Maka dari ini perlulah kita memegang teguh kepercayaan kita, islam membolehkan kompromi dalam berbagai hal kecuali AQIDAH, aqidah ini jelas, ada 5 rukun islam dan 6 rukun iman yang baku tidak boleh berbeda sedikitpun. Masalah perbedaan waktu puasa dan perbedaan bacaan sholat yang sama-sama memiliki dasar yang jelas sebenarnya bukan merupakan perbedaan pada rukun islamnya melainkan perbedaan pendapat saja antara ulama-ulama fiqihnya.

Termasuk memegang teguh aqidah adalah tidak membenarkan agama/tuhan yang lain. Tidak membenarkan hari raya dengan mengucapkan selamat. Karena dengan membenarkan maka kita percaya bahwa tuhan mereka ada. Yang harus kita percayai dari mereka adalah agama mereka juga berusaha menganjurkan kebaikan dan mereka sedang menuju atau mencari kebaikan hakiki, tugas kita adalah membantu mereka menemukan kebahagiaan hakiki yang telah lebih dulu kita anut karena sebagian kita beruntung lahir dari keluarga dengan kepercayaan ini. Sehingga kita harus berbuat baik kepada mereka, termasuk memberi ruang bagi mereka untuk ibadah sambil memberi petunjuk pada kebaikan tanpa harus menjelek-jelekkan agama mereka.

Kedamaian hakiki adalah kedamaian antar agama yang berlangsung sesuai koridornya, tanpa harus saling membenarkan namun saling memberi ruang dalam beribadah. Persis seperti apa yang terwujud pada zaman kekhalifahan dahulu.

Kaum liberal cenderung merusak agama, agama “materi” mereka sangat berbahaya, mungkin untuk kaum liberal yang pertama bisa diperlalukan sama dengan agama lainnya, tapi tidak dengan kaum liberal kedua.

Demikianlah buah fikiran dan pengetahuan saya yang sangat sedikit ini, anda dapat menemukan referensi lebih kuat dari orang-orang yang lebih berkompeten.
Semoga bermanfaat

Wallahu ‘alam bishawab

Tinggalkan komentar